Ruang Untukmu
Bab 1065

Bab 1065

Ruang Untukmu

Bab 1065

“Oke, kita tidak akan bahas ini hari ini. Nanti saja.” Menganggap bahwa dia masih ada urusan yang harus ditangani. Rendra kemudian bangkit dan hendak naik ke lantai atas.

“Pak Rendra, apakah tubuhmu benar–benar tidak apa–apa?” tanya Raisa khawatir dari belakang.

Langkah laki–laki itu tiba–tiba terhenti saat sedang merapikan jasnya dan menoleh untuk menatapnya, mengoreksi ucapannya, “Jangan gunakan kata–kata yang formal saat bicara dengan saya mulai hari ini.”

Raisa dibuat tidak bisa berkata–kata. Apakah ada yang salah dengan menghormatinya?

“Baik.” Responnya serius.

“Saya masih harus bekerja, kamu kembali saja ke kamar dan istirahat.” Selesai bicara, Rendra langsung melepas jasnya. Dia mengenakan setelan elegan yang terdiri dari celana panjang, kemeja dan rompi. Jas itu membuat tubuhnya ramping, menawan dan gagah, tidak terlihat sedang dalam kondisi kesehatan yang buruk.

Saat kembali ke kamar, Raisa memikirkan bagaimana perasaan Valencia yang pada akhirnya tahu bahwa dia sedang memeluk Emir.

Seusai mandi, Raisa berbaring di atas ranjang sambil membaca buku. Meskipun bukunya mendidik dan bagus, tampaknya tidak ada yang masuk ke dalam kepalanya karena pikirannya penuh dengan ucapan Valencia sebelumnya. Dia memikirkan bila konsekuensinya memang begitu serius.

Tak lama, ponsel Raisa berbunyi tanda notifikasi dari pesan teks. Ketika membukanya, dia melihat pesan itu dari ibunya.

‘Raisa, kamu sudah tidur? Ibu dengar kamu menginap di rumah Pak Hernandar Kamu harus jaga sikap dan ikuti aturan di sana. Jangan ganggu pekerjaan dan kehidupannya, oke?‘

Raisa melengkungkan bibirnya sehingga membentu senyuman saat menjawab, “Ibu, saya belum tidur! Mari kita bicara di telepon saja!”

Beberapa detik kemudian, ibunya, Clara Bintoro, meneleponnya. Raisa menjawab panggilan itu. “Halo, Bu?”

“Ibu pikir kamu sudah tidur! Sekarang sudah pukul sepuluh. Kenapa kamu belum tidur? Bagaimana pekerjaanmu?”

“Saya masih magang. Bu, kapan Ibu dan Ayah pulang?”

“Kami memiliki delapan hari libur Natal tahun ini tahun ini, jadi Ayahmu dan Ibu memutuskan untuk pulang dan menghabiskannya bersamamu.”

Mendengar ucapan ibunya, Raisa menghitung tanggal dan berkata dengan gembira, “Masih ada setengah bulan lagi sampai Natal!”

“Iya, kami berencana untuk pulang. Oh, iya, sekarang karena sedang menginap di rumah Pak

Hernandar, kamu harus hati–hati. Jangan ganggu pekerjaannya.”

“Jangan khawatir! Saya akan hati–hati.

“Benar. Pak Hernandar memperlakukan kita dengan baik. Saat ke luar negeri terakhir kali, dia berkunjung untuk mengetahui keadaan kami. Tidak hanya penuh perhatian pada Ayah dan Ibu, dia juga membawakan kami begitu banyak hadiah. Kami sangat tersentuh dengan sikapnya.” Nada suara Clara terdengar penuh rasa syukur.

Dada Raisa sesak begitu tahu betapa orang tuanya sangat menghormati Rendra padahal dirinya baru saja membuatnya marah sampai dadanya sakit. Memikirkan hal itu, dia merasa bersalah.

“Raisa, kamu harus tidur lebih awal agar bisa berjuang mendapatkan kesempatan berada di Divisi Penerjemahan.” Clara menyemangati.

“Baik, saya tahu, Bu. Saya akan berusaha sebaik mungkin.”

“Oke. Jangan melek sampai larut malam. Cepat tidur.” Setelah mengucapkan itu, Clara menutup teleponnya.

Raisa berbaring di tempat tidur dengan wajah terbenam ke dalam selimut. Pikirannya penuh dengan Rendra, dan tidak tahu harus berbuat apa.

Di satu sisi, ucapan Valencia masih terngiang–ngiang; di sisi lain, orang tuanya sangat menghormati Rendra. Bagaimana dia bisa membenahi perasaannya untuknya? Ah, masa bodo! Raisa merasa dia tidak memiliki perlawanan sama sekali terhadap Rendra. Hanya dua kali ciuman darinya sudah membuatnya lupa dengan cinta sebelah pihak yang dia pendam selama tiga tahun. Namun, laki–laki itu terlalu memesona sampai membuatnya terpana. Andai sikapnya sedikit lebih agresif, Raisa pasti sudah luruh lantak. Tidak ada perempuan yang bisa bertahan dari serangan laki–laki seperti ini, apalagi gadis lugu seperti dirinya. Ketika terduduk, wajahnya memerah, dan dia tidak tahu apakah dirinya begitu gugup atau karena yang lain, tetapi tiba–tiba ingin ke luar untuk minum.

Dia juga tidak tahu apakah akan mengganggu istirahat Rendra. Raisa teringat akan terakhir kali berpapasan dengannya saat turun ke bawah untuk mengambil minum dan langsung dicium, olehnya di koridor. Dia bertanya–tanya apakah akan terjadi hal yang sama jika berpapasan lagi dengannya kali ini. Namun, bila tidak minum, bagaimana dia bisa tidur malam itu? Mungkin dia akan mencari air minum di dalam tidurnya.

Raisa tiba–tiba merasa dirinya begitu konyol. Kenapa dia begitu takut terhadapnya? Tiba–tiba, muncul ide lain di otaknya.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report