Ruang Untukmu -
Bab 1069
Bab 1069
Ruang Untukmu
Bab 1069 Mari Kita Berkencan
“Ka–Kamu tidak apa–apa?” Raisa khawatir jika Rendra terus begini, bisa jadi dia akan pingsan akibat panas tubuh.
Tubuhnya sangat panas. Jika dia terus begini terus, bukankah tubuhnya akan semakin memanas?
“Menurutmu?” Suaranya sangat parau membuat Raisa gemetar.
Raisa menatap kedua mata Rendra, di mana dia melihat pengekangan yang begitu kuat yang menahan bahaya yang segera akan meluap keluar dari dalam dirinya. Tanpa sadar Raisa memutar tubuh untuk lepas darinya, tetapi justru diperingati olehnya, “Jangan bergerak.”
Raisa mengerutkan bibirnya yang mengering. Tidak peduli seberapa lama Rendra menatapnya, dia tidak tahu apa yang diinginkan laki–laki ini. Dia hanya merasa sorot matanya gelap dan sulit dibaca.
Tak lama kemudian, Rendra semakin menunduk, membuat Raisa memalingkan wajahnya dalam keterkejutan, takut laki–laki itu akan menciuminya lagi.
Namun, Rendra meletakkan bibirnya pada cuping telinga Raisa dengan tawa lembut dan berkata dalam suara rendah, “Raisa, mari kita berkencan!”
Raisa mengambil napas dalam–dalam, tertegun sepenuhnya, dan pikirannya menjadi kosong. Dia mengajak saya berkencan?
“Tidak… Tidak bisa.” Dia tidak bisa berpikir sama sekali, dan langsung menolaknya.
“Kenapa tidak bisa?”
“Karena… Karena kamu adalah orang yang begitu penting, dan itu membuat saya stres. Selain itu, jika saya berkencan denganmu, kamu tidak bisa menggandeng tangan saya seperti pasangan pada umumnya, dan kamu tidak bisa pergi berbelanja ataupun menonton film dengan saya, atau makan berdua… Di samping itu, kamu juga pasti tidak memiliki waktu untuk saya…” suara Raisa semakin pelan saat menganggap alasannya terdengar sepele.
Tiba–tiba Rendra merasakan gelak tawa di dalam dadanya, matanya menyorotkan keputusasaan saat memandangi Raisa. Benarkah dia menolaknya hanya karena alasan sepele ini? Sungguh menyesakkan dadanya. “Siapa yang bilang saya tidak bisa pergi berbelanja dan menonton film denganmu?” Dia tersenyum. “Saya bisa melakukan apapun yang kamu inginkan.”
Ucapannya terdengar memanjakan tetapi juga mendominasi.
Raisa masih pusing karena ciuman tadi dan merasakan tanda bahaya yang melonjak dari dalam tubuh Rendra. Dia hanya mengenakan jubah tipis, sehingga semua reaksinya jelas terbaca.
Raisa menggigit bibirnya dan bertanya, “Bisakah kamu melepas saya agar kita bisa bicara?”
Rendra tiba–tiba mendekatkan tubuhnya ke tubuh Raisa. “Saya suka kita bicara dalam keadaan seperti ini.”
“Kamu bersikap seperti berandalan saja,” ucap Raisa dengan wajah merona merah.
2
Akhirnya, dengan berbesar hati Rendra melepasnya. Dia terlihat seksi saat napasnya tersengal- sengal dengan jubah terbuka.
“Saya perlu waktu untuk memikirkannya.” Raisa sedikit merasa tenang, dan tidak langsung menolaknya, tetapi dia juga tidak langsung setuju karena ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Ucapan Valencia masih terngiang–ngiang dalam benaknya. “Kamu tidak mau menghancurkan semua yang dimilikinya, bukan?”
Tentu Raisa tidak mau, bahkan dia berharap Rendra tetap teguh dengan posisinya dan mencapai kesuksesan yang lebih besar, karena sudah menyelesaikan tugas dengan baik untuk negeri ini dan masyarakatnya.
“Baiklah. Berikan jawabanmu saat Natal.” Rendra memberikan tenggat waktu untuknya. Dia tidak ingin menunggu terlalu lama karena sudah cukup lama menunggu.
“Biarkan saya menyeka lagi tubuhmu!” Raisa masih khawatir dengan kondisi tubuhnya meskipun tadi dijahili.
“Saya bisa melakukannya sendiri! Jika ditangani olehmu, saya tidak bisa menahan diri.” Sorot mata tajam Rendra terpaku padanya.
Raisa mengerti maksud perkataannya, wajah cantiknya semakin merona merah. Dia memang tidak mengatakan apa–apa, tetapi Rendra juga sudah membuat segalanya jelas.
“Kamu bisa memanggil saya jika butuh sesuatu.” Raisa berkata sambil bangkit sebelum diperintah. “Jangan lupa untuk banyak minum air.”
Setelah keluar dari kamar, Raisa langsung turun ke bawah untuk meminum segelas besar air, dan duduk di sofa yang ada di ruang besar sambil memegang gelas itu. Dia masih sedikit mengawang, sambil mengingat–ingat ucapannya tadi-“Raisa, mari kita berkencan!”
Sekembalinya ke kamar, Raisa tidak bisa tidur lagi. Setengah jam kemudian, dia kembali ke kamar Rendra karena sangat mengkhawatirkannya. Perlahan dia memutar kenop pintu dan melongok ke dalam, dan hanya melihat Rendra sedang tidur di atas kasur besar abu–abu. Dia melangkah perlahan– lahan mendekati kasur dan menjulurkan tangannya untuk mengukur suhu di kening Rendra. Syukurlah, demamnya sudah agak menurun, tubuhnya pun tidak terasa sepanas sebelumnya. Lalu, dengan hati– hati Raisa menyelimutinya dan keluar dari kamar.
Saat fajar menyingsing, Raisa terbangun karena alarm jam berbunyi. Dia melirik ke arah jarum jam dan sadar kalau dia harus bangun dan bersiap untuk bekerja.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report